Tari gambyong merupakan salah satu bentuk tari tradisional
Jawa. Tari gambyong ini merupakan hasil perpaduan tari rakyat dengan tari
keraton. ‘Gambyong’ semula merupakan nama seorang waranggana – wanita
terpilih atau wanita penghibur – yang pandai membawakan tarian yang sangat
indah dan lincah. Nama lengkap waranggana tersebut adalah Mas Ajeng
Gambyong. Awal mulanya, tari gambyong sebagai bagian dari tari tayub atau tari
taledhek. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub,
penari taledhek, dan penari gambyong.
Gambyong juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang
dilakukan oleh seorang wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan
penampilan tari atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti golekan
‘boneka yang terbuat dari kayu’ yang menggambarkan wanita menari di dalam
pertunjukan wayang kulit sebagai penutup. Seiring dengan perkembangan zaman,
tari gambyong mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya.
Pada awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan
interpretasi penari dengan pengendang.
Di dalam urut-urutan gerak tari yang disajikan oleh penari
berdasarkan pada pola atau musik gendang. Perkembangan selanjutnya, tari
gambyong lebih didominasi oleh koreografi-koreografi tari gambyong.
Perkembangan koreografi ini diawali dengan munculnya tari Gambyong Pareanom
pada tahun 1950 di Mangkunegaran, dan yang menyusun ialah Nyi Bei Mintoraras.
Setelah kemunculan tari Gambyong Pareanom, banyak varian tarian gambyong yang
berkembang di luar Mangkunegaran, diantaranya Gambyong Sala Minulya, Gambyong
Pangkur, Gambyong Ayun-ayun, Gambyong Gambirsawit, Gambyong Mudhatama, Gambyong
Dewandaru, dan Gambyong Campursari.
Dari tahap ke tahap perkembangan tari gambyong, pada tahun
1980-an merupakan perkembangan yang paling pesat. Hal ini ditandai dengan
semakin banyak bentuk sajian yang memodifikasi unsur-unsur gerak dengan
perubahan tempo, volume, dinamik, kualitas gerak, dan lain sebagainya. Semakin
meningkatnya frekuensi penyajian dan jumlah penari, membuat tari gambyong
menjadi berubah dari sisi fungsi tari gambyong dalam kehidupan masyarakat.
Tari gambyong yang dulunya berfungsi sebagao tontonan dan
hiburan, berkembang menjadi tari untuk penyambutan tamu dalam berbagai acara.
Selain itu, peningkatan jumlah penari yang disebabkan oleh bentuk sajian secara
masal dan ditambah dengan rentang usia penari yang bervariasi, dari gadis
remaja sampai ibu-ibu. Saat ini bahkan seni tari gambyong sudah berbaur di
berbagai tingkatan pendidikan, dari mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Dari
hal tersebut, menandakan bahwa tari gambyong memiliki sifat njawani atau
khas Jawa yang tidak akan cepat hilang tertelan zaman, situasional, dan
fleksibel.
Menurut Dewi Sulastri, seorang penari dan sekaligus pendiri
Drama Wayang Orang Swargaloka, untuk melestarikan budaya khususnya tari, hal
yang sangat penting adalah kita mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman,
tetapi tetap berpegangan pada akar budaya tersebut. “Karena dunia saya
tradisional, saya lebih tertarik pada tradisional, tetapi tari tradisional itu
bisa kita kembangkan menjadi tari kontemporer, sesuai dengan perkembangan
zaman” tuturnya. Ditambahkan lagi upaya untuk melestarikannya dengan cara
menarik minat generasi muda dengan memberikannya nilai-nilai budaya yang luhur
sejak dini. Selain itu, ‘kemasan’ budaya haruslah dibuat semenarik mungkin untuk
membuat orang tertarik belajar budaya tersebut, paparnya.
Pada zaman ini, tari gambyong memiliki perubahan nilai
estetis dan dipadati oleh koreografi yang menarik. Nilai khas tari gambyong
terletak pada ornamen-ornamen gerak tari dan keharmonisan pada gerak dan pola
irama kendang. Penghayatan total dan disertai dengan wilet yang bagus
akan sangat menambah nilai sensualnya. Hal ini merupakan daya tarik bagi
penonton untuk menikmati pertunjukan tari gambyong ini. Ke depannya, tari
gambyong semakin meningkat dari segi kualitas (peningkatan nilai estetisnya)
dan segi kuantitas (peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah
penari). Sebagai generasi penerus, kita berkewajiban untuk nguri-uri atau
melestarikan dan mengembangkan budaya milik kita sendiri. Salam Budaya!